Anggaran Sampah dan Retorika Kosong, Kritik Tajam untuk Rocky Candra

Tak Berkategori240 Dilihat

MALALAI POS, KERINCI– pernyataan anggota Komisi XII DPR RI, Rocky Candra, dalam rapat bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang pentingnya “mandatory spending” untuk pengelolaan sampah patut diapresiasi di permukaan—namun tidak bebas dari ironi dan problematikanya sendiri.

Pertama, usulan agar pengelolaan sampah menjadi belanja wajib terdengar progresif, tetapi justru memperlihatkan dugaan kurangnya pemahaman legislatif terhadap akar masalah pengelolaan sampah di daerah: bukan sekadar soal ketiadaan anggaran, tetapi lemahnya tata kelola, minimnya kapasitas teknis di level daerah, dan tumpang tindih kewenangan antar lembaga. Menambah anggaran tanpa memperbaiki fondasi justru membuka ruang korupsi dan pemborosan yang lebih besar.

Kedua, Rocky dengan enteng menyindir soal anggaran seminar. “Jangan dipakai untuk seminar sampah aja, Pak,” katanya. Pernyataan ini tampak sinis namun malah menyederhanakan pentingnya pendidikan publik dalam manajemen lingkungan. Justru edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat adalah elemen penting yang sering kali dilupakan. Apakah Rocky lebih memilih anggaran habis untuk pembangunan fisik tanpa mengubah perilaku warga?

Ketiga, nuansa konflik kepentingan tak bisa disembunyikan ketika Rocky terlalu menekankan Provinsi Jambi sebagai fokus perhatian KLHK. Tentu saja, sebagai wakil rakyat dari dapil tersebut, ia berkepentingan. Namun, dalam forum nasional, keberpihakan semestinya berbasis data dan urgensi objektif—bukan dorongan politis atau elektoral semata.

Keempat, ide agar sampah dijadikan energi listrik adalah mimpi indah yang berulang kali didaur ulang dalam wacana politik. Sayangnya, hingga kini teknologi waste-to-energy di Indonesia masih berbiaya tinggi, tidak efisien, dan kerap gagal diimplementasikan karena ketidaksiapan infrastruktur. Menawarkan solusi rumit tanpa roadmap yang realistis hanyalah retorika semu.

Terakhir, dorongan agar isu ini dimasukkan dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) patut dicermati. Apakah ini bentuk keseriusan, atau sekadar ambisi politik untuk mendongkrak citra? Mengusulkan PSN bukan perkara menyebutkan, tapi membuktikan urgensi, skala, dan dampak nasionalnya—hal yang tidak disampaikan Rocky secara konkret.

Rocky mungkin ingin tampil sebagai politisi yang peduli lingkungan. Tapi jika perhatian itu hanya sampai pada permukaan, tanpa pemahaman menyeluruh dan roadmap teknis yang matang, maka ia tak lebih dari pengemas retorika dalam bungkusan populisme. (Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *